Ketahanan Pangan Itu Masalah Nasional, Bukan Masalahnya…
Kemarin saya sempat membaca berita tentang ajakan SBY untuk bercocok tanam di pekarangan rumah dalam rangka menjaga ketersediaan pangan. Setelah itu saya tertarik juga tentang ajakan Pak Gita Wirjawan
(Menteri Perdagangan) agar masyarakat makan singkong dan ubi dan
lagi-lagi berkaitan dengan ketahanan pangan pada masa yang akan datang.
Selanjutnya ada omongan salah satu anggota DPR yang mengatakan
Kementerian Pertanian harus menjadi motor dalam masalah ketahanan
pangan.
Setelah saya membaca dengan seksama
berita-berita tersebut, saya teringat dengan tulisan yang pernah dibuat
yang berkaitan juga dengan ketahanan pangan. Nah untuk mengingatnya
kembali maka saya akan tunjukkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia
tahun 2009 dan Peta Persentase Penduduk Miskin di Indonesia. Saya pikir
Ketahanan dan Kerentanan Pangan berkaitan erat dengan kemiskinan.
PETA PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA (geospasial.bnpb.go.id)
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (http://bkp.deptan.go.id)
Apa
yang bisa kita dapatkan dari peta-peta di atas? Dari pernyataan yang
disampaikan oleh Presiden SBY dan pembantunya memang baik tetapi belum
menyelesaikan masalah ketahanan dan kerentanan pangan yang dihadapi
Indonesia pada saat ini. Penyelesaian masalahnya harus komprehensif dan
tidak sepotong-potong. Sepertinya masalah ketahanan pangan hanya menjadi
masalah pemerintah saja. Tidak, ini bukan masalah presiden, menteri,
atau DPR tetapi ini masalah nasional.
Dalam melihat gambaran kondisi ketahanan
pangan pada peta di atas maka masalah ketahanan pangan harus menjadi
prioritas nasional dengan penggeraknya adalah pemerintah daerah.
Pemerintah daerahlah yang mengetahui kondisi sebenarnya tentang potensi
dan keunggulan komoditi pangan yang dimiliki dengan dibantu oleh
universitas setempat, Litbang Pertanian Daerah dan seluruh elemen
masyarakat daerah.
Dulu pemerintah kolonial Hindia Belanda pernah memperkenalkan Culture Stelsel. Culture stelsel adalah undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mewajibkan rakyat Indonesia
menanam tanaman komoditi pertanian dan perkebunan, yang berlangsung
sejak 1830-1970. Kenyataannya: Memang benar tanam paksa diadakan pada
tahun sekitar itu, tetapi culture stelsel bukan berarti tanama paksa, melainkan aturan tanam baru yang dikeluarkan Belanda.
Penerapan aturan tanam baru di
Indonesia bukanlah sekedar aturan tetapi pemerintah Hindia Belanda
menerapkannya setelah melalui beberapa kali penelitian oleh ahli-ahli
pertanian pada saat itu untuk mengetahui komoditi pertanian seperti apa
yang cocok dengan kondisi geografis suatu wilayah (Peta Komoditi
Pertanian Indonesia). Dengan cultuire stelsel ini, Indonesia
jadi mempunyai variasi tanaman yang semakin beragam, seperti jagung,
coklat, dan teh. Selain menambah jenis tanaman yang baru, Indonesia jadi tahu bagaimana atau teknik menanam tanaman-tanaman baru itu.
Mantan Menteri Pertanian Bungaran
Saragih pernah memanfaatkan kembali Peta Komoditi Pertanian dalam rangka
ketahanan pangan nasional kita. Tetapi gaungnya biasa-biasa saja alias
belum ada tanggapan serius terutama dari pemerintah daerah. Memang ada
beberapa daerah yang memanfaatkan peta komoditi pertanian tersebut.
Contohnya adalah pemerintah Gorontalo semasa Gubernurnya Fadel Muhammad
yang menjadi daerahnya sebagai sentra tanaman jagung untuk Indonesia
wilayah timur bahkan diekspor ke Jepang.
Sewaktu saya masih sekolah dasar,
dalam pelajaran geografi saya mendapatkan penngetahuan tentang bahan
makanan utama beberapa daerah di Indonesia. Bahan makanan utama
masyarakat Madura dan Nusa Tenggara adalah jagung. Masyarakat Maluku dan
Irian Jaya mempunyai makanan utamanya sagu. Dan beras adalah makanan
utama untuk masyarakat Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sualwesi walaupun
ada juga yang menjadikan singkong, ubi dan sorgum sebagai bahan makanan
utama. Tetapi semua pelajaran tersebut berubah total setelah pemerintah
orde baru dengan Swasembada Berasnya secara tidak langsung memaksa orang
yang biasa mengkomsumsi bahan makanan non beras untuk mengkonsumsi
beras. Apa yang terjadi kemudian? Terjadilah lonjakan konsumsi/kebutuhan
beras nasional sampai sekarang sehingga memaksa pemerintah untuk impor
beras. Keberagaman komoditi pertanian yang menjadi ungulan setiap daerah
di Indonesia terlenyapkan demi progran Swasembada Beras. Seharusnya
biarkan masyarakat suatu daerah mengkomsumsi bahan makanan yang biasa
dikonsumsi secara turun temurun. Semua itu bisa terlaksana asalkan ada
Goodwill dari bangsa ini mulai dari presiden, menteri dan seluruh rakyat
untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki.
Dengan mengembangkan keunggulan
komoditi pertanian yang dimiliki oleh daerah, Indonesia tidak perlu
ekspor apalagi impor. Jumlah penduduk 240 juta dapat menjadi pasar yang
luar biasa bagi Indonesia. Jangan berpikir ekspor tetapi penuhi terlebih
dahulu kebutuhan dalam negeri dengan memanfaatkan keunggulan komoditi
masing=masing daerah. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan Jagung, Jawa
dapat membelinya ke Sulawesi atau Nusa Tenggara. Untuk memenuhi
kebutuhan bawang maka Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain dapat
membeli ke Jawa. Jadi harus ada kekhususan komoditi pertanian suatu
daerah sebagai komoditi pertanian unggulan.
Saya pikir apa terdapat pada Peta
Komoditi Pertanian baik yang dibuat pada culture stelsel atau yang sudah
diperbaharui baik oleh Litbang Kementan/Universitas bisa menjadi
pedoman bagi pemerintah pusat untuk membuat aturan mainnya sehingga
benar-benar tejadi pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia.
Bergerak dalam satu kata dan satu perbuatan demi bangsa dan negara.
Kebijakan yang komprehensif juga
harus terlihat dalam penegakan hukum. Kalau sudah bicara ketahanan
nasional berarti menjaga kehormatan bangsa. Kalau ada segelintir orang
atau kelompok yang mencoba-coba bermain dan mengacaukan kepentingan
pangan nasional demi keuntungan sendiri maka dapat disamakan dengan
tindakan terorisme karena kepentingan pangan nasional identik dengan
kepentingan kebutuhan primer rakyat Indonesia. Maka TNI/Polri secara
otomatis turun tangan. Contoh yang terlihat jelas adalah masalah bawang
merah. Seharusnya pemerintah pusat segera menurunkan para intel untuk
mengawasi masuknya bawang impor yang masuk ke Indonesia. Terjunkan
para intel untuk mengawasi dan memata-matai mereka yang ingin merusak
aturan main yang sudah dibuat karena berkaitan dengan masalah nasional.
Keterangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia :
Dari 346 kabupaten yang dianalisis Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) terdapat 100 kabupaten yang memiliki tingkat
resiko kerentanan pangan yang tinggi dan memerlukan skala prioritas
penanganan.
Di antara 100 kabupaten berperingkat
terbawah yang disebut dalam Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009
tersebut dibagi lagi menjadi tiga wilayah prioritas, yakni: prioritas 1,
prioritas 2 dan prioritas 3.
Ada 30 Kabupaten yang termasuk Prioritas
1 untuk mendapatkan penanganan, yakni sebagian besar kabupaten tersebar
di Indonesia bagian Timur, terutama di Papua (11 kab), NTT (6 kab) dan
Papua Barat (5 kab). Total jumlah penduduknya mencapai 5.282.571 jiwa.
Yang termasuk Prioritas 2 terdapat 30
kabupaten, yakni sebagian besar terdapat di Kalimantan Barat (7 kab),
NTT (5 kab), NAD (4 kab), dan Papua (3 kab). Total jumlah penduduknya
mencapai 7.671.614 jiwa.
Yang termasuk Prioritas 3 terdapat 40
kabupetan, yakni sebagian besar terdapat di Kalimantan Tengah (6 kab),
Sulawesi Tengah (5 kab) dan NTB (4 kab). Total jumlah penduduk di
wilayah Prioritas 3 ini 11.785.667 jiwa.
Penentuan status ketahanan dan
kerentanan suatu wilayah dalam peta ini didasarkan pada 13 indikator
yang dikelompokkan dalam 4 katagori. Pertama, ketersediaan pangan.
Indikator yang dianalisis adalah 1) konsumsi normatif per kapita
terhadap rasio ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar.
Kedua, Akses terhadap Pangan. Indikatornya: 2) Persentase penduduk di
bawah garis kemiskinan; 3) Persentase desa yang tidak memiliki akses
penghubung yang memadai, dan 4) Persentase penduduk tanpa akses listrik.
Ketiga, Pemanfaatan Pangan (Konsumsi
pangan, kesehatan dan gizi). Indikatornya adalah: 5) Angka harapan hidup
pada saat lahir, 6) Berat badan balita di bawah standar, 7) Perempuan
buta huruf, 8) Rumah tangga tanpa akses air bersih; dan 9) Persentase
penduduk yang tinggal lebih dari 5 Km dari fasilitas kesehatansumber : http://hankam.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar